Wednesday, March 2, 2016

Profil Pondok Pesantren "Asrama Perguruan Islam" API Salaf Tegalrejo Magelang

Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH. Chudlori yaitu seorang ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo. Beliau adalah menantu dari KH. Dalhar pengasuh Pondok Pesantren ”Darus Salam” Watucongol Muntilan Magelang. KH. Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren yang lain. Baru setelah berkalai-kali beliau mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 di tetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya sendiri yang tentunya merupakan hasil dari sholat Istikharoh. Dengan lahirnya nama Asrama Perguruan Islam, beliau berharap agar para santrinya kelak di masyarakat mampu dan mau menjadi guruyang mengajarkan dan mengembangkan syariat-syariat Islam.
Adapun yang melatar belakangi berdirinya Asrama Perguruan Islam adalah adanya semangat jihad ”I’Lai kalimatillah” yang mengkristal dalam jiwa sang pendiri itu sendiri. Dimana kondisi masyarakat Tegalrejo pada
waktu itu masih banyak yang bergelumuran dengan perbuatan-perbuatan syirik dan anti pati dengan tata nilai sosial yang Islami. Respon Masyarakat Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo pada waktu itu sangat memprihatinkan. Karena pada saat itu masyarakat masih kental dengan aliran kejawen. Tidak jarang mereka melakukan hal-hal yang negatif yang mengakibatkan berhentinya kegiatan ta’lim wa-taa’llum (kegiatan belajar-mengajar). Sebagai seorang ulama yang
telah digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, KH. Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan tantangn yang datang. Berkat ketegaran dan keuletan KH. Chudlori dalam upayanya mewujudkan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam baik secara dhohir maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan, tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar 100-an. Prestasi ini jika di identikan dengan prestasi para pendiri pondok pesantren dalam era kemajuan ini, barang kali biasa-biasa saja. Akan tetapi kalau melihat situasi serta kondisi serta sistem sosial yang berlaku pada saat itu sungguh prestasi KH. Chudlori merupakan prestasi yang lebih. Aksi negatif masyarakat seputar setelah tiga tahun API berdiri semakin mereda, bahkan diantara mereka yang semula anti pati ada yang berbalik total menjadi simpati dan ikhlas menjadi pendukung setia dengan mengorbankan segala dana dan daya yang ada demi suksesnya perjuangan KH. Chudhori. Akan tetapi di luar dugaan dan perhitungan pada awal tahun 1948 secara mendadak API diserbu Belanda tepat pada “Kles II”. Gedung atau fisik API yang sudah ada pada waktu itu diporak porandakan. Sejumlah kitab termasuk Kitab milik KH. Chudhori dibakar hangus, sementara santri santri termasuk KH.Chudhori mengungsi kesuatu desa yang bernama Tejo kecamatan Candimulyo. Kegiatan taklim wa-taalum nyaris terhenti. Pada penghujung tahun 1949 dimana situasi nampak aman KH.Chudhori kembali mengadakan kegiatan taklim wa-taalum kepada masyarakat sekitar dan santripun mulai berdatangan terutama yang telah mendengar informasi bahwa situasi di Tegalrejo sudah normal kembali, sehingga KH.Chudhori mulai mendirikan kembali API lagi di temapt semula.
Semenjak itulah API berkembang pesat seakan bebas dari hambatan, sehingga mulai tahun 1977 jumlah santri sudah mencapai sekitar 1500-an. Inilah puncak prestasi KH.Chudhori di dalam membawa API ke permukaan umat. Adalah merupakan suratan taqdir, dimana pada saat API sedang berkembang pesat dan melambung ke atas, KH.Chudhori dipanggil kerahmatullah (wafat), sehingga kegiatan taklim wataalum terpaksa diambil alih oleh putra sulungnya (KH. Abdurrohman Ch) dibantu oleh putra Keduanya (Bp. Achmad Muhammad Ch). Peristiwa yang mengaharukan ini terjadi pada penghujung tahun 1977.
Sudah menjadi hal yang wajar bahwa apabila disuatu pondok pesantren terjadi pergantian pengasuh, grafik jumlah santri menurun.
Demikina juga API pada awal periode KH. Abdurrohman Ch jumlah santri menurun drastis, sehingga pada tahun 1980 tinggal sekitar 760-an. Akan tetapi nampak keuletan dan kegigihan KH.Chudhori telah diwariskan kepadaKH. Abdurrohman Ch, sehingga jumlah santri bias kembali meningkat sampai pada tahun 1990 menurut catatan sekretaris mencapai 2698 santri. Disini perlu dimaklumi oleh pembaca bahwa dari awal berdirinya hingga sekarang.
Mujahadah dan riyadloh
Merupakan ciri yang tidak dapat ditinggalkan. Tradisi ini telah ditanamkan oleh KH. Chudlori dalam pondok pesantrennya. Banyak amalan yang dilakukan oleh santri sebagai pondasi mental spiritual. Menurut Yusuf, salah seorang penasehat pondok: “Tubuh ini ibarat gelas, sedangkan mujahadah dan riyadloh merupakan pembersih atas gelas tersebut dari dosa dan maksiat, sehingga bila nanti dituangi susu, kopi ataupun teh akan tetap rasanya. Kalau badan dan jiwa kita bersih, maka dalam menerima ilmu juga akan baik dan bermanfaat kelak.”
Seperti Shaumud dahr, tarkur ruz (meninggalkan makanan dari beras/ngrowot), ya man huwa (meninggalkan makanan yang bernyawa) dll. Merupakan bentuk amalan yang menjadi keseharian di API. Mujahadah yang dilaksanakan mulai tengah malam hingga pukul 1 istiwa’ menjadi rutinitas yang dilakukan santri. Selain itu, wadhifah yang lain adalah membaca Al-Quran satu juz setiap harinya sehingga dalam satu bulannya dapat mengkhatamkan Al-Quran.
Hubungan Masyarakat
Ketika akhirus sanah berlangsung, sebagai rangkaian acara khataman (pelepasan santri) pondok menggelar beraneka ragam kesenian budaya jawa, antara lain wayang kulit, jatilan, tayub, dll. Acara tersebut berlangsung selama satu minggu. Malam puncaknya setiap tanggal 13 Sya’ban. Pagelaran ini bertujuan untuk mengumpulkan masyarakat desa guna diberi petuah-petuah yang berisikan ajaran Islam. Dengan suka rela warga sekitar membantu kelancaran acara tersebut.
Tidak hanya itu diwajibkan bagai santri yang pada tahun terakhir menempuh pendidikannya untuk menjadi da’i. Mereka disebar di daerah yang masih minim Islam. Hal ini merupakan representasi pengabdian terhadap masyarakat.
Seperti contoh KH. Abdur Rahman Wahid Ad-Dakhil yang sering disebut Gus Dur juga menuntut ilmu di API selama 2 tahun. Beliau membangun pondasi mental spiritual yang kuat dalam kehidupannya.
“Pesantren yang besar adalah pesantren yang mampu melahirkan pesantren kembali.” Ungkap Mudrik, salah seorang penasehat pondok pesantren. Dan ini merupakan misi yang diemban oleh API. Selain menjadi benteng pengaruh buruk budaya barat dan mencetak figur yang dapat dijadikan suri tauladan.
Struktur Pengurus dan Pendidikan
Reorganisasi kepengurusan dibentuk melalui rapat pleno yang diadakan tiap sepertiga akhir bulan Syawal. Anggota sidang terdiri dari penasehat, pengurus pusat, dan pengurus komplek. Pengasuh saat ini adalah KH. Abdurrochman Chudlori, dibantu penasehat, kepala pondok, sekretaris, bendahara, seksi-seksi dan anggota. Guna menjalankan roda organisasi pondok masing-masing komponen harus menjalankan tugas masing-masing.
Untuk menimba ilmu di API, santri baru hanya dikenai biaya sebesar Rp.29.500, santri lama Rp. 18.000 meliputi pendaftaran, Kartu Tanda Anggota (KTA), dan dana pembangunan. Sedangkan pengurus Rp. 2.000 (hanya pendaftaran). Untuk makan sehari-hari setiap anggota kamar dibebani biaya sebesar harga beras/jagung 10/11 kg (menurut hasil kesepakatan kamar masing-masing).
Ada delapan tingkatan yang harus dilalui, pertama, Shifir (meliputi baca tulis arab, tarikh, sorogan juz amma dan fasholatan) dan Ibtidaiyyah (meliputi tartilul Qur’an, Ta’limul Muta’allim, khottul jamil, fiqh jawan, jurumiyyah jawan dan tajwid jawan). Kedua, Al-Jurumiyyah (meliputi Al-Jurumiyyah, Safinatun najah, tartilul Qur’an, tajwid, dan Aqidatul Awam). Ketiga, as-sorof (meliputi As-shorof, Al-I’mrithi, Qowa’idul I’rab, Fathul Qorib). Keempat, Alfiyah (meliputi Alfiyah Ibnu Malik dan Minhajul Qowim). Kelima, Fathul Wahab (meliputi Fathul Wahab, Jauharul Maknun, dan pendalaman Fathul Qorib Ula). Keenam, Al-Mahally (meliputi Al-Mahally, Mantiq, Faroidl, dan pendalaman Fathul Wahab Tsany). Ketujuh, Al-Buchory (Al-Buchory, Qowa’idul Fiqhiyyah, dan Mustholah Hadits). Dan terakhir kedelapan, Ihya U’lumuddin (Ihya U’lumuddin, dan bahtsul Masail).
Adapun tiap tingkatan tersebut ditempuh satu tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan seorang santri hanya menempuh maksimal 2 tahun. Dengan hanya mengikuti dua tingkatan terakhir saja. Sebab setiap masuk proses tingkatan melalui tes dari seksi pendidikan (Dewan Qori’in).
Perkembangan terakhir
Selain menjaga API tetap menjadi pondok pesantren salaf. Tuntutan masyarakat yang kian beragam, membuat Bani Chudlori, memikirkan bagaimana melayani masyarakat sekaligus li’illai’ kalimatillah. Berawal dari inisiatif pribadi dan sekaligus disetujui Bani Chudlori maka berdirilah Asrama Perguruan Islam Perempuan (APIP) I KH. Mudrik Chudlori sebagai pengasuhnya. APIP II yang diasuh oleh KH. Damanhuri. Sedangkan, KH. Yusuf Chudlori mendirikan yayasan Syubbanul Wathon yang di dalamnya meliputi Sekolah Tinggi Agama Islam Syubbanul Wathon (STAIS), Sekolah Menengah Kejuruan Teknologi Informasi (SMK TI), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SD IT) dan Taman Kanak-kanak Islam Terpadu (TK IT

1 comment: